Pada tahun 2018 Perusahaan Listrik Nevada Energy memilih mengakhiri monopolinya sebagai penyedia jasa layanan listrik di negara bagian Nevada USA. Pilihan itu bukan semata-mata inisiatif yang dasarnya sukarela tetapi karena desakan publik melalui pemungutan suara dalam deregulasi kebijakan pelayanan energi listrik. Masyarakat menganggap monopoli ini mengakibatkan biaya listrik menjadi mahal dan tidak efisien. Yang dipertanyakan masyarakat adalah mengapa negara bagian ini yang memiliki sinar matahari setahun lebih dari 320 hari tetap menggunakan pembangkit listrik konvensional yang berbasis fosil. Di Nevada matahari,angin dan air sangat melimpah dan dapat dijadikan sebagai sumber daya pembangkit listrik ramah lingkungan. Protes itu tidak semata-mata dimotori oleh khalayak tetapi perusahaan-perusahaan besar seperti MGM Resort, Wynn Resort, Kasino-Kasino, dll. telah melakukan eksodus dari Nevada Energy. Tuntutan perusahaan-perusahaan raksasa itu adalah efisiensi, biaya listrik yang lebih murah, energi terbarukan dan kelestarian lingkungan.
Dalam hal ini isu lingkungan, energi terbarukan (yaitu penggunaan solar dan angin) dan pelayanan listrik yang lebih kompetitif (murah) telah mempertemukan kekuatan publik dan korporasi-korporasi raksasa sehingga mampu merubah kebijakan dalam ekploitasi energi listrik yang bersifat terbarukan dan ramah lingkungan. Bagaimana dengan di Indonesia? Bagaimana dengan PLN yang jelas-jelas diberi hak istimewa memonopli pelayanan listrik kepada masyarakat? Bisakah isu efisiensi, energi terbarukan dan lingkungan menjadi titik temu kepentingan rakyat dan korporasi-korporasi besar untuk merubah penggunaan dari energi konvensional ke energi terbarukan? Isu kerusakan lingkungan dan pemanfaatan energi terbarukan bagi rakyat barangkali masih merukan isu yang terlalu mewah. Rakyat lebih tertarik dengan isu-isu yang berurusan dengan peningkatan kesejahteraan. Mengingat sebagian besar masyarakat kita masih berjuang disekitar kegiatan peningkatan kesejahteraan maka sangat dimungkinkan kelestarian lingkungan menjadi terabaikan. Pada sisi yang lain the power holders ebih banyak mencari polularitas dengan cara menebarkan atau membius rakyat dengan isu-isu peningkatan kesejahteraan. Sebagai contoh dalam kampanye-kampanye pemilihan eksekutif dan legislative isu energi terbarukan dan lingkungan hanya menjadi isu tambahan yang sifatnya di pinggiran saja. Sementara ada kecenderungan negara tetap memberikan hak monopoli PLN sebagai BUMN yang memiliki monopoli dalam menentukan harga dalam pelayanan penyedia tenaga listrik. Isu tak sedapnya lagi BUMN ini dijadikan sebagai sumber daya untuk mengokohkan kekuasaan. Jadi tidaklah mengherankan kalau isu kelestarian lingkungan dan energi terbarukan hanya menjadi isu-isu kecil yang letaknya dipinggiran. Akibatnya kita masih akan menggunakan energi fosil dalam pengadaan listrik dalam jangka Panjang dan kerusakan lingkunan menjadi realitas yang semakin hari semakin riil.